Langsung ke konten utama

[IX]. 1B. Beragama sebagai Tanggapan atas Karya Keselamatan Allah

 

Pengantar

Sudah sejak dahulu kala hingga sekarang ini di antara pelbagai bangsa terdapat suatu kesadaran tentang daya kekuatan yang gaib yang hadir pada perjalanan sejarah dan peristiwa-peristiwa hidup manusia; bahkan kadang-kadang ada pengakuan terhadap kuasa Ilahi yang tertinggi ataupun Bapa. Kesadaran dan pengakuan itu meresapi kehidupan bangsa-bangsa tersebut dengan semangat religius yang mendalam.

Demikian pula dengan nenek moyang kita sejak dahulu kala, bahkan jauh sebelum agama-agama besar dikenal, sudah ada upaya untuk mengungkapkan kepercayaan akan Allah yang menyelamatkan. Ungkapan kepercayaan itu dinyatakan dalam berbagai bentuk: mitos, upacara, dan sebagainya. Kita mengenalnya sebagai agama asli. Biasanya agama asli bersifat lokal, artinya hanya ada di wilayah tertentu. Di Indonesia banyak tersebar agama-agama asli, sebagian masih dianut oleh suku-suku tertentu, sebagian sudah terpengaruh oleh agama-agama besar.

Agama-agama yang terdapat di seluruh dunia pada umumnya dengan berbagai cara berusaha menanggapi kegelisahan hati manusia yang terus-menerus bertanya tentang makna hidupnya yang terdalam: “apakah manusia, mengapa manusia hidup, mengapa ada penderitaan dan kesusahan, mengapa manusia bisa sakit, apa akhir dari kehidupan ini, kemanakah sesudah kematian” dengan menunjukkan berbagai jalan, yakni ajaran-ajaran serta kaidah-kaidah hidup maupun upacara-upacara suci. Bagi manusia semua pertanyaan tersebut merupakan suatu misteri yang tak terjawab. Pada akhirnya, manusia mempercayakan seluruh hidupnya kepada penyelenggaraan Tuhan melalui agama yang dianutnya.

Agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, Balai Pustaka 2001). Sedangkan Dr. Franz Dahler mengartikan “agama adalah hubungan manusia dengan sesuatu kekuasaan yang lebih tinggi dari pada dia, dari mana dia merasa tergantung dan berusaha mendekatinya.” Kendati tidak mungkin memberi suatu definisi umum mengenai agama, terdapat sejumlah gejala atau unsur yang pada umumnya didapat pada agama-agama.

 

Lima unsur yang dapat kita temukan pada agama-agama yang ada, yaitu:

1.

Jemaat

Yang pertama harus disebut adalah umat beragama sendiri. Umat beragama bukanlah kumpulan umat yang biasa. Yang mengikat mereka pada awalnya bukan organisasi, melainkan ikatan batin. Bagaimana ikatan batin itu digambarkan atau diterangkan, berbeda pada masing-masing agama. Biasanya umat beragama merasa dirinya dipersatukan bukan hanya atas inisiatif atau upaya para anggota. Tuhan sendirilah yang mempersatukan mereka.

2.

Tradisi

Unsur kedua ini luas sekali dan mencakup beberapa unsur yang lain. Umumnya semua agama mempunyai sejarah. Khususnya sejarah awal dan tokoh-tokohnya, mempunyai arti yang khusus. Banyak agama mengenal nabi atau rasul atau pendiri agama. Salah satu unsur tradisi yang sangat penting adalah ajaran yang diteruskan secara turun temurun. Ajaran itu pada umumnya mengandung tiga bidang: ajaran keselamatan, ajaran moral dan ajaran ibadat. Pada awalnya ajaran keselamatan mengenai Allah dan hubungan-Nya dengan manusia, kemudian mengenai sejarah dan organisasi, serta bagaimana melalui agama orang dapat bertemu dengan Allah dan diselamatkan. Ini merupakan bagian yang khusus untuk masing-masing agama. Ajaran moral sering bersifat lebih umum, karena mengambil alih banyak unsur dari kebiasaan etis masyarakat. Sebaliknya, ajaran mengenai ibadat biasanya sangat khusus dan kadang-kadang dipandang sebagai yang paling pokok. Tradisi ajaran itu biasanya diteruskan tidak hanya secara lisan, tetapi juga melalui buku-buku suci.

3.

Ibadat

Walaupun ibadat ada dalam setiap agama, namun justru dalam ibadatlah nampak perbedaan antara agama. Ada yang melihat ibadat sebagai pertemuan antara Allah dan manusia. Ada juga yang membatasi ibadat pada ungkapan ketakwaan dan saling mengukuhkan iman. Ibadat adalah kegiatan manusia. Peraturan ibadat dan cara umat mengambil bagian dalam ibadat berbeda antara satu agama dengan agama yang lain.

4.

Tempat Ibadat

Setiap agama memiliki tempat ibadat, sebutan, dan ciri yang berbeda-beda antara satu agama dengan agama lainnya. Tempat ibadat dipandang sebagai tempat yang dikhususkan bagi pertemuan dengan Tuhan. Selain itu tempat ibadat dipandang sebagai tempat yang suci.

5.

Petugas Ibadat

Sebenarnya petugas ibadat itu suci, karena ibadat yang dilayani olehnya bersifat suci. Dalam hal ini ada perbedaan-perbedaan besar antara para petugas ibadat dari pelbagai agama.

 

Alasan manusia menganut agama antara lain

1.

Menemukan jawaban

Manusia sering menghadapi berbagai pertanyaan yang sulit dipecahkan oleh kemampuan akal-budinya. Ada banyak pertanyaan berkaitan dengan hidup manusia itu sendiri, seperti: dari mana manusia berasal, mengapa ada penderitaan atau bencana di dunia ini, kemana manusia sesudah ia mati?, dan sebagainya. Ada pula pertanyaan-pertanyaan tentang segala sesuatu yang dilihat atau dialaminya, seperti: siapa yang mengatur gerak benda angkasa, sehingga dapat berjalan pada porosnya dan tidak bertabrakan, siapa yang memberi daya hidup sehingga dalam benda-benda yang kelihatan mati sekalipun sesungguhnya ada “kekuatan dan kehidupan” yang luar biasa (misalnya atom, yang kemudian dapat diolah jadi bom atom).

2.

Mencari perlindungan

Dalam hidupnya manusia kerap kali merasa tidak berdaya, manusia seringkali menyadari kekuatan yang jauh lebih hebat dari dirinya. Kekuatan itu tampak dalam bentuk bencana, gejala alam, atau kejadian yang menimpa dirinya. Kekuatan tersebut dapat menghancurkan tetapi juga dapat sangat membantu. Perasaan tidak berdaya itulah yang mendorong manusia untuk meminta perlindungan terhadap kekuatan lain yang lebih hebat itu, dengan berlindung kepada kekuatan itu manusia juga merasakan keamanan.

3.

Meneguhkan tata nilai

Dalam hidupnya manusia mau tidak mau harus berelasi dengan sesamanya. Dari pengalaman berhubungan dengan orang lain tersebut, baik dengan individu maupun kelompok, manusia menemukan ada nilai-nilai tertentu yang bersifat membangun dan ada juga yang sifatnya dapat merusak relasi itu sendiri. Nilai-nilai tersebut kemudian disebut nilai baik dan jahat atau benar dan salah. Dari pengalaman pula akhirnya manusia menghayati bahwa yang baik dan benar harus dilakukan, sedangkan yang jahat dan salah harus dihindarkan. Melalui agama, segala nilai yang baik dan benar itu dihayati sebagai yang dikehendaki Allah, sedangkan yang jahat dan salah dianggap berlawanan dengan kehendak Allah. Maka manusia yang dianggap baik adalah mereka yang melakukan yang baik dan benar.

4.

Memuaskan kerinduan akan masa depan yang lebih baik

Dalam hidupnya manusia seringkali menemukan adanya kekacauan, penderitaan, sakit, bencana, dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman membuat manusia resah, bahkan frustasi. Dalam pergumulan hidupnya manusia berpikir: Kalau Allah demikian mencintai manusia, pasti Allah tidak menghendaki semuanya itu terjadi terus menerus; kalau Allah mencintai manusia tentulah ada situasi lain yang dijanjikannya, yakni situasi dimana manusia dapat hidup dengan damai, tentram, tanpa penderitaan, dan sebagainya. Hasil perenungan dan dialog dengan Allah, menghantar manusia pada pemahaman tentang surga (atau dengan istilah lainnya seperti Kerajaan Allah Nirwana, Moksa, dan sebagainya); serta pemahaman tentang kebalikannya, yakni neraka. Akhirnya konsep tentang surga dijadikan harapan masa depan, sedangkan neraka dijadikan hal untuk dihindari.

 

Latar belakang yang menjadi alasan orang beragama tersebut tentu saja akan sangat menentukan bagaimana orang menghayati agama yang dianutnya. Pada kenyataannya masih banyak orang yang masih menghayati agama yang dianutnya secara dangkal. Mereka mengaku sebagai orang beragama, namun hal itu hanya berlaku di KTP saja sebagai identitas. Dengan alasan tersebut, orang akan merasa aman karena diakui statusnya.

 

 

Pandangan  Kitab Suci untuk menemukan tentang ajaran penghayatan agama yang benar (Mat 5:17-48 dan Luk 8:9-14)

Manusia menganut agama untuk memperoleh kepastian jawaban terhadap rahasia tersembunyi atas hidupnya. Manusia ingin dihantar pada tujuan akhir, yaitu kepada Tuhan yang dikenal sebagai penyelenggara dan tujuan hidup manusia.

Berdasarkan perikop Injil Mat 5:17-48, Yesus mengajarkan kepada kita supaya tidak bersikap formalistis dalam beragama. Apabila kita benar-benar mendalami ajaran agama, kita tidak akan jatuh pada pemahaman yang dangkal dan setengah-setengah, dan dapat mengamalkan ajaran agama yang benar.

Berdasarkan perikop Injil Luk 8:9-14, Yesus mengkritik orang-orang Farisi, para pemuka agama dan ahli taurat yang seringkali merasa hidup keagamaannya lebih baik dibandingkan orang lain. Mereka menyombongkan dirinya dan menganggap orang lain hidup agamanya lebih rendah. Yesus memuji pemungut cukai karena ia bersikap rendah hati di hadapan Allah.

Hidup beragama yang benar harus didasarkan pada keyakinan bahwa Allah telah mencintai manusia. Dialah sumber cinta, penyelenggara kehidupan sehingga hidup beragama hendaknya mengarah pada hubungan yang semakin dekat dan mendalam dengan Allah. Hidup beragama yang benar menuntut kita untuk menjalankan atau menerapkan agama kita dalam hidup sehari-hari. Agama harus dipahami, dihayati, dan dilaksanakan.

Praktik hidup beragama yang benar adalah berusaha dan dimotivasi oleh keinginan menjalin hubungan yang akrab dengan Allah dan juga dengan sesama. Hidup beragama itu sendiri harus didasarkan pada dorongan dari dalam untuk mencari kebenaran, sehingga agama menjadi pedoman hidup dan sarana bagi manusia menuju Allah sebagai sumber keselamatan sejati.

Mereka yang sudah menjalankan agamanya dengan baik dan benar dapat merasakan sendiri dalam hidupnya dan dalam masyarakatnya kedamaian, kasih dan persadaraan. Hidup mereka sungguh tertata dengan baik, relasi dengan sesama rukun, dan hati mereka tidak pernah tenang melihat penderitaan sesama, mereka berani menanggung risiko dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan, bahkan rela berkorban sampai mati demi orang-orang yang dikasihinya. Sebaliknya, sikap beragama yang kurang benar secara umum muncul dalam sikap munafik, kurang menghargai orang lain, agama dijadikan topeng untuk menutupi kejahatan mereka.